Oleh: Ahmad Subagya (Dewan Presidium PB PII 92-95 dan
Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Takdib PB PII periode 95-99)
Dalam merumuskan kembali strategi organisasi terkait Azas Tunggal, PII menggunakan terminologi formalisasi bukan menerima azas tunggal. Strategi ini merupakan amanat muktamar PII ke-XX tahun 1995 di Cisalopa, Bogor yang memutuskan dan memandatkan PB PII periode 1995-1998 di bawah ketum Abdul Hakam Naja untuk melakukan formalisasi dengan melakukan registrasi ke Depdagri.
Dasar pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut adalah hasil evaluasi di muktamar bahwa strategi gerakan kulit bawang yang selama ini dilakukan PII membatasi gerakan dan menyebabkan surutnya kaderisasi .
Strategi kulit bawang drafnya dibuat oleh mas Ananta Heri P. ditempuh karena pemerintah melalui SK Mendagri No. 120 tahun 1987 tidak mengakui keberadaan PII dan seluruh kegiatannya tidak diakui oleh pemerintah. Maka Agar tetap bisa berkegiatan PII memakai kamuflase kelembagaan lain, bisa pinjam yang sudah ada misalnya remaja masjid atau membentuk lembaga baru atau membuat kios-kios baru yang bersifat lokal.
Kios-kios ini ada yang semi permanen atau cukup dipakai sekali saat ada kegiatan. Karena bersifat semi permanen dan sekali pakai inilah kelembagaan ini tidak terlalu dipusingkan oleh aparat termasuk tentang azas organisasi.
Jadi reformalisasi PII itu merupakan keputusan Muktamar PII. Formalisasi adalah produk kelembagaan bukan manuver personal PB dan KB, dan kemudian hasilnya dipertanggungjawabkan di Muktamar PII ke-XXI tahun ’98 di Pondok Gede Jakarta.
Strategi formalisasi merupakan mata kembar dari progran konsolidasi kaderisasi yang merupakan jantung kegiatan PII. Konsolidasi kaderisasi dilakukan dengan penyempurnaan sistem training yang kemudian dikenal dengan Ta’dib.
Rumusan Ta’dib pertama kali dirintis PB PII 1989-1992 di bawah kepemimpinan Agus Salim. Tim perumus Ta’dib generasi pertama ini ditunjuk koordinatornya adalah Ahmad Subagya dengan anggota Agus Salim, Rahman Farid, Samijo Djarot, Asep Syaifunnur Maszah, Abdul hakam Naja, Ananta Heri Pramono, Ahmad Muntaha, Ade Tajuddin dan lwan. Selama dua periode PB (periode Agus Salim 89-92, dan periode Asep Syaifunnur 92-95) penyempurnaan ini belum selesai. Tim ini kemudian masih melanjutkan kerjanya di periode 95-99 dengan ditambah beberapa personal yang terlibat dalam tim perumus Ta’dib antara lain Abdi Rahmat, Taryanto Wijaya, dan Sri Harjanti.
Kerja panjang tim ini kemudian di bahas di Pekan Orientansi Ta’dib Nasional (Portanas) 1-3 Maret di Semarang dan disempurnakan di Lokakarya lnstruktur Nasional (LIN) 20-26 November di Pandaan Malang. Hasil dari pembahasan tersebut disyahkan pada Muktamar PII XXI 24-30 Mei 1999 di Jakarta.
Jadi memahami strategi formalisasi tidak boleh sepotong tetapi harus dalam satu paket dengan konsolidasi kaderisasi melalui penyempurnaan sistem Ta’dib. Demikian juga memahami konsep Ta’dib harus dalam perpektif PII sebagai organisasi formal dan terbuka sehingga mempunyai sumber daya kader yang banyak. Ketika PII masih terbiasa dalam irama organisasi bawah tanah, maka pelaksanaan Ta’dib akan banyak menghadapi kendala. (Fn)