Oleh: M. Anwar Djaelani,
tinggal di www.anwardjaelani.com
Abu Nawas itu fenomenal, terutama dengan ‘karya’ doanya yang masyhur sampai kini. Doa itu telah lebih dari 10 abad menginspirasi banyak orang di banyak negeri. Sementara, di negeri ini, dua doa di Sidang MPR –yaitu di 2017 dan 2016- juga fenomenal karena menuai aneka respon. Ada apa?
[read more=”Selengkapnya”]
Doa dan Nasihat
Banyak kisah bahwa doa bisa memengaruhi si pendoa atau pendengarnya. Cermatilah doa Abu Nawas ini: “Duhai Tuhanku. Aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku ….” Maka, lihatlah fakta ini: Sambil menunggu waktu shalat, doa (dalam bahasa Arab) itu masih rutin dilantunkan di banyak Mushalla atau Masjid, terus menginspirasi (www.republika.co.id 01/03/2009).
Kisah lain. Di sebuah Latihan Kepemimpinan yang diselenggarakan beberapa hari, di penutupan diakhiri dengan “Renungan Malam”. “Islam itu agama dakwah. Semua Muslim wajib berdakwah. Andai sendirian-pun kita harus tetap berdakwah, bahkan meski harus bertaruh nyawa. Maka, Yaa Allah, kuatkan kami andai di suatu saat harus tandang gelanggang walau seorang….. Yaa Allah, jangan biarkan kami kembali pulang sebelum memenangkan kerja amar makruf nahi munkar”.
Banyak peserta yang tersentuh. Di kemudian hari, banyak di antara mereka yang lalu benar-benar bisa “menghidupkan” isi doa itu. Sebagian mereka menjadi aktivis dakwah –dalam pengertian luas- yang tangguh.
Apa yang hendak disimpulkan dari dua ilustrasi di atas? Pertama, kita memang harus rajin berdoa sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Isi doa tentang yang baik-baik dan termasuk yang paling sedang kita butuhkan. Doa bisa dalam bahasa yang kita mengerti. Kedua, terbukti doa bisa memiliki fungsi lain yaitu sebagai pemberi nasihat dan penggugah kesadaran bagi si pendoa maupun yang mengamininya.
Alhamdulillah, negeri ini negeri religius. Pertama, simaklah paragraf ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kedua, negeri ini bisa dibilang “Negeri Doa”. Coba lihat, nyaris tak ada acara di sekitar kita –resmi atau tak resmi- yang tak diakhiri dengan pembacaan doa.
Terkait itu, mari cermati doa di Sidang MPR pada 16/08/2017. Doa itu dipimpin Tifatul Sembiring. Doa itu lalu ramai diperbincangkan karena ada kalimat ini: “Beri petunjuk Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo. Gemukkanlah badan beliau yaa Allah, karena kini terlihat semakin kurus. Padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil makmur dan sejahtera. ……………..”
Publik ramai membincang kalimat itu, terutama soal ‘elok’ atau ‘kurang elok’ rasa berbahasanya. Padahal, dari sisi isi, baik. Terlebih lagi, jika kita hubungkan dengan rangkaian doa berikutnya. Rasakanlah!
“Curahkanlah hidayah-Mu petujuk jalan yang lurus kepada beliau. Kokohkanlah keimanan dan ketakwaan di dada beliau”. /“Tanamkanlah rasa sayang di dada beliau kepada rakyat, cinta kepada umat, menghormati dan mencintai para ulama yang istiqamah. Sebab ulama itu adalah pewaris Nabi SAW. Tunjukilah beliau Yaa Allah agar tetap berlaku adil sebagai pemimpin negeri yang kami cintai ini”. /….. “Yaa Allah Yaa Malikalmulki, hadirkanlah pemimpin-pemimpin negeri yang sholihin, pemimpin-pemimpin yang lebih takut kepada Engkau Yaa Allah, daripada takut kepada partainya. Yang lebih takut kepada dahsyatnya azab-Mu Yaa Allah daripada jabatan dunia yang sementara ini”.
Di atas itu adalah petikan dari doa Tifatul Sembiring yang menggugah kesadaran. Sebelumnya, doa yang serupa itu ada. Kita, misalnya, ingat kepada doa di Sidang Paripurna MPR RI 16/08/2016. Kala itu Muhammad Syafi’i -anggota DPR RI- mendapat amanah untuk memimpin doa. Maka –tanpa teks- berdoalah dia. Berikut ini sebagian doa itu.
“Yaa Rahman! …. Betapa hukum kami seperti mata pisau yang hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas sehingga mengusik rasa keadilan bagi bangsa ini./ Wahai Allah! Memang semua penjara over capacity, tapi kami tidak melihat ada upaya untuk mengurangi kejahatan karena kejahatan seperti diorganisir. …. Kami tahu pesan dari Sahabat Nabi-Mu, bahwa kejahatan-kejahatan ini bisa hebat bukan karena penjahat yang hebat, tapi karena orang-orang baik belum bersatu, …. atau belum mendapat kesempatan di negeri ini untuk membuat kebijakan-kebijakan baik yang bisa menekan kejahatan-kejahatan itu./ …. Jauhkan kami, Yaa Allah, dari pemimpin yang khianat – yang hanya memberikan janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, yang kekuasaannya bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat./ Allah, kalau ada mereka yang ingin bertaubat, terimalah taubat mereka! Tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik di negeri ini…”/
Atas doa Muhammad Syafi’i itu banyak yang mengapresiasinya. Pertama, materi yang disampaikan di doa itu dirasa memang benar adanya. Kedua, materi yang diungkap dan sekaligus dimintakan jalan keluarnya kepada Allah dirasakan bisa mewakili aspirasi dari rakyat banyak. Ketiga, isi doa tersebut diharapkan bisa menjadi nasihat bagi pihak-pihak yang terkait.
Dari uraian ringkas di atas, terasa bahwa doa sangat bisa menggugah kalbu. Doa sangat bisa membangun jiwa. Di samping itu, doa juga sangat bisa menggugah keinsyafan. Doa sangat bisa membangunkan kesadaran.
Tersebab Titah
Alhasil, doa itu inti ibadah. Kita bahkan diminta untuk memerbanyak berdoa. Mintalah apa saja yang baik-baik dan terutama yang sedang paling kita butuhkan. Jika itu sudah kita kerjakan, maka tak seorangpun boleh menyoal doa kita. Sebab, yang meminta kita berdoa adalah Allah: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan ….” (QS Mu’min [40]: 60). [/read]